LARA

LARA
Menjelang malam rindu itu kembali menyambangiku, membawa sejuta rasa yang sudah mati-matian aku lupakan. Gelap malam membiaskan cahaya lampu kota, lenyapnya kunang-kunang tersapu debu, ketika suara motor dan mobil terselimuti sunyi dan senyap malam; ya, itulah saat di mana aku menikmati lara.

Lara, hei bukan kah aku sudah sering kali berbincang dengan mu dalam keheningan malam, kau adalah rahasia dalam hidup ku. Ingatkah masa di mana kita bukan lagi antara kamu dan aku, ketika lenganku menjadi favorit peluk mu, dan pundak ku adalah teddy bear dikala kesedihan mendatangimu.  Itulah saat di mana kita belum mengenal arti perpisahan.

Lara, mengapa kau masih sering menyambangiku ?, dapatkah kau bawab ?, ah, sudahlah aku sudah tahu jawab mu. Bolehkah aku bertanya satu hal, apakah dia yang di sana masih sering kau sambangi, layaknya kau menyambangiku di setiap malam ?, hemm itu adalah pertanyaan idiot.

Sebenarnya...

Aku tak pernah meyesali kau datang di setiap malam ku, aku pun tak pernah merasa aku kau mengintimidasi, dan bahkan aku tak merasa kau mengusik malam ku. ya, aku tak pernah menyesal akan kehadiranmu, aku bahkan mensyukurinya karna kau selalu menyambangiku dengan setiap kenangan ku dengannya, yang aku sesali, bukan aku yang kan melukis senyum mu di setiap pagi mu.

hei, lara selepas kau pergi bersama dengan heningnya malam, aku menikmati secangkir kopi. Kopi ini terlalu manis, namu tak semanis kenangan bersamamu; yah kini aku tak dapat lagi menikmati secangkir  kopi di pagi hari selepas kau pergi.

Kamu jahat, kamu biarkan aku terselimuti lara dalam setiap keheningan malam.

 Mengenang mu adalah alasan dari setiap lara ku.

Komentar